Saya membuka mata
saya dan langsung terbangun segar. Medan yang telah ditempuh membuat saya
keletihan dan tertidur pulas. Long Anai, saya sudah tiba. Kini di depan mata
saya terhampar rumah panjang yang sudah lama saya impikan untuk melihatnya
secara langsung. Ukiran khas suku Dayak berwarna merah, putih, dan kuning tidak
membiarkan saya tertidur lagi, meski barang lima menit.
“Ukiran ini bermakna satu darah,”
ujar Kepala Desa Long Anai yang dengan ramah menyambut kami. Saya dan rekan-rekan
langsung disuguhi tarian selamat datang suku Dayak Kenyah. Hentak kaki dan
musik yang pelan mengalun membawa saya menepis berjuta cerita menakutkan dari
suku yang paling dikenal dari Pulau Borneo ini. Mereka begitu ramah dan
menyenangkan, juga tidak segan berbincang mengenai pernikahan dan perceraian,
sekalipun baru bertemu saat itu.
Long Anai adalah sebuah desa
dengan komposisi penduduk 99% adalah penduduk dari suku Dayak Kenyah. Mereka
beragama Kristen dan gereja desa dibangun tepat di depan lamin, rumah panjang khas suku Dayak. Kini, mereka tidak lagi
tinggal di lamin bersama keluarga
lain. Tiap keluarga telah memiliki rumah masing-masing. Pendidikan sudah sampai
pada taraf Sekolah Menengah Kejuruan, meski begitu setiap keluarga masih
memiliki ladang untuk bercocok tanam.
Malam itu, menu berbuka puasa
saya adalah sayur daun paku yang direbus, terong goreng tepung, ayam goreng,
sambal, dan tentunya nasi putih hangat yang dibalut dengan daun pisang. Nikmat
sekali. Di tengah para turis pemerhati lingkungan dari Belgia, saya meyantap
makan malam saya. Airnya pun air asli dari mata air sekitar.
Tak jauh dari sana, terdapat
bukit menjulang yang mengundang tanya dari saya. Ada apa di balik bukit itu?
Ah ya, ini Kalimantan Timur,
Bung. Tempat di mana mungkin akan kita temukan pertambangan di sisi kanan kiri
jalan, conveyor raksasa pengangkut
batubara yang tidak hentinya memasok sang emas hitam ke kapal di Sungai
Mahakam, pit-pit besar yang akan
tertinggal menjadi danau beracun. Ini adalah provinsi terluas kedua di
Indonesia, satu setengah kali pulau Jawa, dan 25% dari luas daerahnya sedang
dikeruk menuju kehancuran.
Apa yang kau tahu tentang
Kalimantan? Mungkin sama dengan saya. Hutan, sungai-sungai besar, dan suku
Dayak. Suku yang kebanyakan mendiami aliran atau tepian sungai-sungai di alam
rimba Kalimantan. Tentunya wajar, karena sungai adalah asal peradaban. Dan
disinilah, peradaban Kalimantan dimulai. Peradaban sungai besar seperti Kapuas
di Kalimantan Barat atau Mahakam di Kalimantan Timur. Namun peradaban itu sudah
hampir usai.
Dibalik bukit yang ada di
belakang desa Long Anai, terdapat pengerukan luar biasa yang mengoyak jantung
Kalimantan. Proses ini tidak berhenti selama 24 jam non-stop, atau perusahaan
akan merugi. Batubara, atau emas hitam telah menjadi komoditas yang sudah
identik dengan provinsi Kalimantan Timur, sang Swarga Bara, atau Surga-nya Batubara. Mahakam pun bukan lagi jadi
pusat peradaban suku Dayak, namun telah menjadi pusat peradaban pengangkutan
batubara.
Menyusuri sungai Mahakam dari
tepinya, dan conveyor-conveyor
perusahaan terus menggulingkan batubara yang siap dipasok untuk PLTU lokal
maupun kebutuhan internasional. Apa yang telah mereka bawa untuk para manusia
di tepian sungai selain kehancuran? Semua juga mengerti, bahwa tambang batubara
telah merusak kualitas air, tanah, udara, dan tanaman. Ladang mati, air
beracun. Kejadian anak tenggelam di danau bekas pit batubara pun sudah menjadi buah bibir.
Namun conveyor di tepi Sungai Mahakam itu tidak berhenti. Ia terus
mengalirkan sang emas hitam, yang katanya untuk kemajuan pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Saya bahkan tidak tahu, apakah para ekonom tersebut sudah menghitung
pula dampaknya, kehancuran sebuah peradaban lampau Kalimantan.