Seorang Guru Matematika
Wednesday, April 24, 2013
Namanya Sam. Pak Sam, begitu kami memanggilnya.
Ia selalu datang ke kelas dengan tegap, mengapit tas hitam dengan lengan kemeja tergulung dan kotor oleh kapur. Saat itu saya kelas 3 SMP, dan saya sudah dengar akan diajar matematika oleh beliau. Logatnya agak tidak Indonesia, ia selalu menggunakan papan kapur hitam dan sebuah penggaris kayu kebanggaannya meski terdapat white board di SMP saya yang termasuk unggulan. Buatnya, setiap murid harus membawa penggaris kalau mau belajar matematika.
Ia tinggi dan tegap, dan saat itu rambutnya sudah memutih. Ia membuat nilai UAN matematika SMP saya nyaris sempurna tanpa mencontek, dan mengajarkan saya cinta matematika.
Semalam saya mendengar kabar dari jejaring sosial bahwa ia berpulang.
Pak, saya sekarang sudah hampir lulus lho di Psikologi. Saya amat memahami statistika sekarang, dan itu berkat Bapak dan penggaris Bapak. Saya belajar bahwa pengukuran tepat adalah kunci sukses penelitian, dan kehidupan. Saya sudah skripsi lho pak, dengan teknik statistik yang tidak akan mudah. Tapi saya belajar dari Bapak. Bahwa matematika itu penting, dari segala bentuk. Biar hanya kapur yang jadi media pengajaran Bapak, cara klasik memang selalu menyenangkan.
Selamat jalan Sam, Ph.D. Saya akan sangat merindukan Bapak jika saya kembali ke sekolah. Beruntung, teman saya mengingatkan titah Bapak: "Mau belajar matematika tapi tidak membawa penggaris? Tidur saja di loteng!"
Semoga Bapak juga sudah menemukan loteng itu, loteng dengan jendela di bawah temaram senja syahdu di bawah naungan Tuhan, meski tidak membawa penggaris kayu Bapak.
2 comments
manly cry, tapi bener Ph.D tek?
ReplyDeletebeneran bal
ReplyDeleteLet's give me a feedback!