Seberapa Religiuskah Kita?
Saturday, May 18, 2013
Imagine no religion.. - John Lennon
Seberapa religiuskah Anda dalam skala 1 - 10?
Sebuah pertanyaan yang bagi beberapa orang mungkin akan dengan percaya dirinya dijawab 10. 10, karena saya memakai atribut agama, 10 karena saya shalat lima waktu, 10 karena saya selalu ingat beribadah. 10, karena saya akan selalu membela agama saya di atas apapun. Benarkah?
Kemarin pagi setelah meditasi saya membaca buku NASIONAL.IS.ME dari Pandji Pragiwaksono. Insight yang saya dapat. Satu, saya akan sekolahkan anak saya di Gonzaga atau Pangudi Luhur. Dua, bahwa perdamaian akan hanya tercapai jika ada toleransi tingkat tinggi. Tiga, aneh jika sampai detik ini kita tidak cinta Indonesia. Anyway dalam tulisan kali ini, saya hanya akan bahas insight kedua saja.
Toleransi. Demokrasi. Agama.
Bahasan mengenai agama adalah salah satu variabel dalam skripsi saya, sehingga saya cukup mendalami mengenai agama. Sekarang, mari kita bahas dua jenis pemahaman dalam beragama. Dua jenis tersebut adalah religiusitas ekstrinsik dan intrinsik (Jonas & Fischer, 2006). Orang dengan religiusitas ekstrinsik adalah orang yang menganggap agama sebagai sebuah alat (fungsi utilitas), sementara religiusitas intrinsik adalah orang yang menganggap agama adalah sebuah cara untuk mencapai sebuah makna kehidupan. Orang dengan religiusitas ekstrinsik adalah orang yang banyak beribadah-sekedar beribadah, sementara orang dengan religiusitas intrinsik adalah mereka yang banyak berpikir tentang agamanya, untuk apa, dan bagaimana mengaplikasikannya.
Dibanding dua jenis tersebut, saya lebih suka pengertian religiusitas dan non-religius dari Norenzayan, dkk (2009). Mereka bilang dalam penelitiannya, orang yang religius itu mampu membela orang yang beragama lain. Contoh kasusnya adalah ketika ada kartun Nabi Muhammad yang tersiar di berbagai media, Pimpinan Gereja Katolik Prancis mengecam pembuat kartun dan mengatakan bahwa kebebasan berekspresi seharusnya tidak menyinggung agama, termasuk agama lain.
Anyway, selama tiga tahun di Psikologi UI ini saya punya seorang teman dekat. Namanya Hans. Si Hans ini, orangnya sangat terbuka untuk diajak bicara berbagai pandangan dari mulai budaya hingga agama. Agama kami berbeda, etnis, keluarga, daerah tempat tinggal, dan sebagainya. Setiap saya membuka pintu kelas, saya akan menemui dia dan laptop atau hpnya, di pojok kiri depan kelas. Saya langsung duduk di sebelahnya, membuka berbagai macam jenis pembicaraan. Saya sampai edit fotonya karena saya tahu, suatu saat saya akan kangen masa-masa ngobrol dengan beliau. Dari berbagai pembicaraan, saya bertukar banyak info mengenai Islam dan Kristen, Cina dan Jawa, JKT 48 (karena dia ngidol JKT), tugas, dan sebagainya. And I love this kind of friendship, pertemanan yang tidak membuat saya terdiam dalam satu kotak tapi membuka banyak sudut pandang baru. Kata Pandji dalam bukunya: Masjid Istiqlal selalu membuka lapangan parkirnya untuk mereka yang ke Gereja Kathedral untuk beribadah. Sederhana, namun menggambarkan hubungan yang harmonis antara dua agama ini.
Toleransi itu luar biasa indah. Luar biasa. Maka, teman-teman yang saya hormati, tolonglah berhenti mengupdate berbagai macam ayat Tuhan di media sosial. Memang Tuhan bilang sampaikanlah meski hanya satu ayat. Namun saya akan selalu lebih suka menyampaikan ayat ini, Janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak suka sesuatu yang berlebih-lebihan (Al-A'raaf: 31). Soedjatmoko (1990) dalam bukunya Dimensi Manusia dalam Pembangunan mengatakan prinsip tidak membenarkan sikap yang berlebih-lebihan merupakan satu garis merah yang tampak dalam ajaran Islam.
Maka berhentilah. Berhentilah membuat garis batas antar perbedaan itu.
Seperti halnya cerita Inayah Wahid dalam buku Pandji, seorang pastur pernah berkata:
“Perdamaian itu akan terjadi bukan ketika umat Islam bisa membela hak beragama umat Islam, atau umat Katholik bisa membela hak beragama umat Katholik, atau yang Yahudi bisa membela hak beragama sesama Yahudi. Perdamaian itu akan terjadi kalau umat Islam membela hak orang Katholik, orang Katholik membela hak umat Hindu, orang Hindu membela hak umat Yahudi , dan seterusnya..”
Seperti kata teman saya, jangan pernah merasa memegang kunci surga. Kunci surga tidak ada di media sosial. Saya bahkan menulis ini pun, tidak tahu apa saya salah atau benar. Setidaknya inilah pemahaman saya.
Jadi seberapa religiuskah kita?
Untuk teman-teman yang tertarik, silakan baca:
Jonas, E., &
Fischer, P. (2006). Terror management and religion: Evidence that intrinsic
religiousness mitigates worldview defense following mortality salience. Journal of Personality and Social Psychology,
91, 553–567. doi:10.1037/0022-3514.91.3.553
Norenzayan, A.,
Dar-Nimrod, I., Hansen, I. G., & Proulx, T. (2009). Mortality salience and
religion: Divergent effects on the defense of cultural worldviews for the
religious and the non-religious. European
Journal of Social Psychology, 39, 101-113.
8 comments
kalau membela yang tidak beragama? yang tidak percaya tuhan ada? yang tidak peduli?
ReplyDeleteKadang kita lupa.
Kalau sebenarnya,
semua hanya kita duga.
tidak beragama juga sebenarnya pilihan beragama (menurut saya); yakni memilih untuk tidak memilih agama apapun.
ReplyDeleteKadang kita juga lupa, mungkin ketiadaan Tuhan juga hanya dugaan kita saja.
:)
memang itu dia.
ReplyDeletesemua itu kita duga.
kamu ada juga termasuk yang saya duga. ^____^
Ya memang, tapi untungnya saya diizinkan mencicipi berbagai pengalaman yang mengkonfirmasi dugaan2 saya. Riset pun sebenernya juga usaha manusia untuk mengkonfirmasi dugaan. Makanya saya suka baca hasil riset :)
ReplyDeletembak puspita apakah anda mahasiswi ui?maaf mbak puspita kalau boleh saya minta alamat email anda..untuk mendiskusikan tentang religius dan toleransi ?dan mau menanyakan beberapa hal mengenai topik yang anda tulis ini?soalnya topik ini ada kaitannya dengan penelitian saya..terimakasih sebelumnya
ReplyDeleteiya saya mahasiswi tingkat akhir psikologi ui. silakan dikirim ke puspita93@rocketmail.com pertanyaannya.
ReplyDeleteada berbagai macam pandangan mengenai cara menerapkan tolransi beragama itu sendiri. lalu yang anda maksud toleransi beragama yang seperti apa ?
ReplyDeleteSaya ambil definisi Oxford ya mas, tolerance berakar dari kata tolerate:
Deletetolerate
n verb
1 allow the existence or occurrence of (something that one dislikes or disagrees with) without interference.
2 endure (someone or something unpleasant) with forbearance.
artinya, kita punya kecenderungan untuk menerima kepercayaan orang lain, meski kita ga suka, dan nggak ikut campur di dalamnya. Kita nggak perlu mati-matian membuktikan bahwa Yesus, Buddha, atau siapa yang paling benar. Setiap orang punya persepsi dan pemahaman masing-masing, let's just accept it as "agamaku adalah agamaku, agamamu adalah agamamu."
Let's give me a feedback!