Romantisme Ruang
Monday, October 28, 2013
Semester ini, akhirnya saya bisa masuk ke kelas yang sudah saya targetkan untuk ikuti sejak saya semester 3: Psikologi Arsitektur. Hanya untuk sedikit membuktikan, bahwa Ilmu Psikologi memang bisa diaplikasikan ke semua ranah ilmu lainnya (belakangan saya tahu Matematika dan Fisika tidak luput dijamah oleh Psikologi).
Untuk membuat analisis rumah unik, saya kebetulan menemukan buku menarik di lemari ayah saya. Judulnya A Psychology of Building: How We Shape and Experience Our Structured Space. Lym (1980) dalam buku ini menerangkan tiga jenis ruang, yakni neutral space, acute space, dan chronic space. Supaya efektif dan tidak bosan membaca penjelasannya, singkatnya neutral space adalah ruang yang terpisah antara pengguna (user) dan lingkungannya, sementara acute space memiliki interaksi dalam durasi terbatas. Sementara chronic space, adalah ruang yang memiliki durasi tak terbatas, terus berubah fungsinya mengikuti kebutuhan penggunanya. Dalam konsep psikologi arsitektur, hal tersebut yang disebut dengan konsep affordances.
Ruang sendiri merupakan sebuah konsep yang masih diperdebatkan. Perdebatan yang sama, saat saya dulu bersama mahasiswa arsitektur UNS (yayaya dia memang mantan saya, bawel sekali sih) di Keraton Mangkunegaran saat solo traveling ke sana. Mengapa Keraton Mangkunegaran punya desain sangat Eropasentris? Mengapa atap menjadi penting di struktur rumah dan ruang bagi orang Jawa? (ceritanya klik di sini). Dulu saya juga pernah mendengar penjelasan mahasiswa fast track arsitektur UI bahwa kematian, juga sebuah ruang. Makam dan lahannya menjadi sebuah ruang yang diperebutkan bagi mereka yang sudah mati maupun yang masih hidup. Apakah yang sudah mati tidak butuh ruang? Kalau tidak, dan jiwa mereka sudah bebas, untuk apa ada makam? Untuk apa kita sediakan ruang sementara banyak orang, khususnya mereka yang miskin butuh sedikit ruang untuk hidup - meski sedikit saja.
Ruang - sesuatu yang abstrak, dan visualisasi chronic space pun sebenarnya hanya pemenuhan kebutuhan si pengguna, baik manusia, atau spesies lain yang memiliki teritori. Ruang - sebuah yang sulit didefinisikan. Sebagai mahasiswa psikologi beraliran behavioristik, saya percaya kognisi kita pun terdiri dari ruang. Maka dari itu, ada konsep atensi. Jika ruang penuh, maka kita tidak akan bisa memberi atensi pada hal lain. Pada pria, lebih sulit menjalankan multi tasking. Sebuah fenomena yang terjelaskan secara evolusi.
Ruang, mungkin begitu pula dengan afeksi?
Apakah afeksi, atau awamnya disebut dengan "hati", memang perlu diisi oleh sesuatu - atau seseorang?
Seorang interviewee yang mengalami parasosial dengan JKT48 bahkan menghabiskan uangnya untuk JKT48 karena putus dari pacar. Sebuah ruang yang harus diisi.
Pertanyaannya, seperti apa ruang afeksi saya sekarang?
Entah, mungkin saya ingin menjalin romantisme dengan ruang itu sendiri.
Sebuah ruang kosong yang tampak sederhana.
Hanya butuh seseorang yang pintar, jauh lebih pintar dari saya untuk berada di sana.
Saya hanya belum menemukannya.
"We are in love with our spatial environments whether we are aware of it or not." (Glenn Robert Lym)
0 comments
Let's give me a feedback!