Di hari Natal kali ini, saya juga menyambut kelahiran ayam-ayam kecil saya ke dunia.
Sambil menunggui induk ayam mengeram, kemarin saya sempat menonton Upin-Ipin, kebetulan sedang bercerita mengenai tradisi bulan hantu yang dilakukan oleh etnis Tionghoa. Jadi ceritanya, Upin dan Ipin bertemu dengan Meimei yang sedang membawa jeruk untuk sesaji pada hantu. Di depan rumahnya, terdapat beberapa jeruk dengan dupa yang hampir dimakan oleh Upin dan Ipin. Kemudian, saat Upin dan Ipin pulang ke rumah, mereka bertanya pada Kak Ros dan neneknya mengenai apakah hantu itu benar ada atau tidak.
Saya benar-benar penasaran dengan lanjutannya, apa jawaban Kak Ros dan nenek, sebagai orang Melayu Islam?
Ternyata jawabannya sungguh mengejutkan (bagi saya),
"Itu adalah kepercayaan orang Cina, kita harus menghormatinya."
Tidak ada jawaban mengenai ada atau tidaknya hantu, nenek malah menjelaskan,
"pada bulan ini, orang Cina percaya pintu surga dan neraka akan dibuka, sehingga banyak hantu berkeliaran. Kita harus menghormati kepercayaan mereka. Kalian jangan makan buah yang diletakkan untuk sesaji ya."
Tidak ada pembantahan dari Upin dan Ipin. Kemudian, mereka mengajak nenek dan Kak Ros untuk menonton Opera Cina yang akan digelar. Dengan antusias, mereka sekeluarga akhirnya pergi ke Opera Cina.
Saat pementasan Opera Cina, berbagai booth makanan tersedia. Upin dan Ipin menghampiri Meimei yang sedang memakan sate bakso daging dan ingin mencobanya.
"Tidak boleh, tidak boleh."
"Kenapa?"
"Ibuku bilang, orang Melayu tidak boleh makan ini."
Maksudnya pasti karena bakso tersebut terbuat dari daging babi.
Kemudian Opera Cina dimulai dan nenek, Kak Ros, Upin dan Ipin menontonnya sampai habis.
Sementara di sini,
kita semua masih meributkan soal ucapan "selamat Natal" untuk umat Kristiani.
Berbagai sindiran, kata-kata, khotbah dalam notes-notes panjang, atau bentuk halus seperti komik bergambar tersebar di berbagai lini media sosial sebagai perang terhadap kata-kata "selamat Natal".
Saya juga sudah pernah menulis mengenai orang yang sebenarnya mengilhami agama sebagai pandangan hidup (religiusitas intrinsik), bukan sekedar simbol (religiusitas ekstrinsik), adalah mereka yang dapat membela hak-hak umat agama lain yang berbeda keyakinan dengan dirinya (Norenzayan, dkk., 2009).
Sudahlah.
Pertanyaan besar mengapa kita tidak pernah terbebas dari pertikaian antarumat beragama sudah terjelaskan.
Tidak perlu berbagai penelitian rumit mengenai hubungan kepribadian atau semacamnya, masa-masa hari Natal seperti ini sudah cukup menjelaskan bagi saya.
Bahwa kita, masih tidak dapat menerima perbedaan dengan apa adanya.
Kita sudah menyia-nyiakan kesempatan yang Tuhan berikan melalui adanya perbedaan.
Tuhan tidak akan menciptakan sesuatu yang sia-sia, dan menurut kitab suci, semua itu agar kita belajar.
Mungkin, sesederhana belajar dari dua anak kecil botak bernama Upin dan Ipin,
yang mau bertanya pada neneknya dan kemudian belajar menghargai orang lain dari etnis dan agama yang berbeda.
Kita hanya malas dan tidak mau belajar, hanya bisa berteriak-teriak tak ada guna.
Reference
Norenzayan, A., Dar-Nimrod, I., Hansen, I. G., & Proulx, T. (2009). Mortality salience and religion: Divergent effects on the defense of cultural worldviews for the religious and the non-religious. European Journal of Social Psychology, 39, 101-113.