Cacing Tanah
Sunday, March 09, 2014
Pagi ini, saya dipanggil bapak saya untuk membantunya membenahi beberapa tanaman kesayangannya. Ada beberapa tanaman yang sudah membesar dan harus dipindahkan ke pot yang lebih besar. Saat memindahkan tanaman tersebut, banyak cacing tanah. Banyak sekali. Dan saya senang melihatnya.
--
Menurut buku Living Green: Forests and Wetlands yang disusun oleh Scott Fetzer Company (2009), ada beberapa jenis hutan. Di antaranya adalah temperate deciduous forests (hutan dengan temperatur sedang, tidak terlalu dingin ataupun terlalu panas, terletak di Eropa Barat dan Asia Timur), temperate coniferous forests (hutan yang diisi oleh vegetasi jenis conifer, terletak di Australia dan Amerika Utara atau Selatan), boreal forests (hutan yang memiliki banyak area basahan seperti sungai yang akan membeku saat musim dingin, terletak di beberapa wilayah Asia, Amerika Utara, dan Eropa), tropical seasonal forests (memiliki vegetasi dengan kerapatan kecil, tapi tidak lebih jarang dibandingkan savanna, terletak di Afrika, Australia, dan Amerika Selatan), dan tentu saja - tropical rain forests, tipe hutan Indonesia.
Hutan Hujan Tropis adalah rumah bagi biodiversitas yang luar biasa, begitu jika ditranslasi dari buku saya. Areanya hanya menutupi 6% permukaan bumi, namun 70% spesies tumbuhan dan binatang ada di hutan ini yang terletak di negara-negara garis khatulistiwa. Lihat pembagiannya di peta! Sepanjang garis batas negara, Indonesia ditutupi oleh hutan hujan tropis.
(Kobasa, ed., 2009) |
Saya sudah sadar kekayaan itu setiap kali keluar-masuk hutan, naik-turun gunung, atau berlayar-mendarat laut luas. Setiap kali memandangi pohon cantigi besar berlatarbelakang langit luas, menciumi edelweiss di kabut lembah atau ranu-ranu, menikmati warna alga biru di dekat kaki yang sering terinjak di jalur basah, mendengarkan kicauan burung di campsite yang lapang, saya sadar betapa kaya Indonesia ini. Betapa Jepang mungkin memiliki sakura, atau Paris memiliki salju. Saya selalu ingat dengan Joe, turis dari UK yang saya temui di Bangkok, berkata pada saya, "you know what makes me going travel to Southeast Asia using bike? You all have what my country never has, the warmth, the mighty forests, the myths, and all those stuffs. And all that I want is biking around your countries, crossing border and feel it slowly." Atau seorang warga negara Kanada yang pernah saya temui di Kalimantan, bermobil bersama menyusuri jalan buruk namun ia berkata, "you guys are very lucky. You all have tropical rain forests, that are magical for me. We don't have a warm forest in our country, and I wish we have one."
Maka, nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan?
--
Saya masih memperhatikan si cacing tanah. Dengan sekop, saya masukkan kembali ia ke pot barunya. Cacing tanah - makna kesuburan, perlambang kegemburan tanah. Ia selalu jadi indikator tanah yang sehat meski kerjanya tidak pernah terlihat mata. Ia tidak pongah dengan memberi tahu semua orang bahwa ia bekerja. Ia bekerja di balik tutupan tanah, dan performanya tergambar melalui tanaman yang sehat dan tumbuh besar. Ia seperti potensi.
Potensi, kadang kita memang harus menggalinya terlebih dahulu untuk mengetahuinya bukan?
Kadang kita tidak sadar, bahwa Indonesia ini sangat kaya raya, sehingga berpergian ke pelosok Indonesia kadang tidak terlihat jauh lebih membanggakan dibandingkan berada di tanah orang yang ingin tanahnya sesubur kita.
Mari, lihat Indonesia dengan lebih dekat, bukan hanya dengan hati, tapi dengan sains.
Cantigi di Gunung Lawu |
Edelweiss di Ranu Kumbolo, Gunung Semeru |
Mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke |
Rumpun Bambu di Perkampungan Baduy |
Mangrove di Pulau Pari |
Di mana? Danau sebelah FMIPA UI. |
0 comments
Let's give me a feedback!