70:20:10
Wednesday, February 25, 2015Padi di sawah kakek saya |
Ada satu studi mengenai paparan uang dan dampaknya pada keegoisan seseorang. Eksperimen keren itu dilakukan dengan partisipan dikondisikan untuk terpapar wallpaper desktop untuk beberapa saat. Satu kelompok wallpaper bergambar uang, kelompok kontrol mendapat ikan. Mereka tidak sadar dengan paparan ini. Kemudian, mereka dijelaskan akan menemui orang tidak dikenal dan mereka diminta mengatur posisi tempat duduk mereka. Ternyata, kelompok yang dipaparkan gambar uang mengatur kursi dengan jarak lebih jauh dengan kursi yang akan ditempati orang asing tersebut dibanding kelompok yang dipaparkan gambar selain uang (Vohs, Mead, & Goode, 2006). Membuat jarak personal atau personal space (pasti familiar kan dengan keadaan dimana kita akan mengambil posisi duduk terjauh dengan orang asing di halte bis?) dengan orang lain menandakan seberapa kita mau menyambut kehadiran orang lain. Artinya, orang yang dipaparkan dengan uang uang dan uang akan cenderung lebih "dingin" dengan mereka yang tidak.
Ini bukan pendiskreditan terhadap alumni ranah ilmu Ekonomi. Faktanya, ada anak Ekonomi yang hangat sekali sama orang, dan ada anak non Ekonomi yang tidak hangat dengan orang karena memaparkan dirinya secara sengaja dengan stimulus uang uang dan uang dalam mindsetnya. Saya kenal beberapa teman dekat di Ekonomi yang bahkan menjadikan cinta sebagai tujuan hidup. That is fine, dan saya takjub sama mereka. Adalah sebuah fakta menarik bahwa makin banyak anak non Ekonomi yang terpapar "wallpaper" uang dan dipertanyakan "kehangatan"nya.
Seorang teman pernah berkata, "gue yakin mereka yang korupsi ga pernah jalan-jalan. Mereka ga liat gimana kondisi di daerah terpencil dengan keinginan sendiri, bukan karena tugas dinas atau apa." Saya rasa idenya sejalan dengan studi-studi mengenai paparan uang. Ada pula studi mengenai bidang ilmu mengenai uang akan menghambat seseorang dalam perilaku kooperatif. Saya jadi geli sebenarnya, karena benar apa yang dibilang Toni dalam seri Supernova kepada Elektra. Uang itu cuma angka. Kalau dia pindahkan satu juta dari rekening yang satu ke rekening yang lain, kerja keras si orang rugi tidak akan berpindah ke si orang yang dapat satu juta mendadak. Uang, telah jadi benda sakti.
Saya bukan orang suci yang tidak mencari uang. Sejak saya masih kuliah, saya sudah cari uang. Sejak saya kerja pun, saya masih tetap freelancing dengan diketahui bos saya di kantor, sampai sekarang. Saya freelance juga bukan karena gaji kurang, saya bahagia dengan gaji saya. Tapi, mengerjakan hal lain di luar pekerjaan mengisi ruang kosong di otak saya biar tidak mati bosan. Apa yang saya ingat adalah konsep 70:20:10 dari Pandji. Lakukan hal yang harus dilakukan untuk dapat uang, beri proporsi 70. Lakukan hal yang kita senangi dan masih mendatangkan uang, beri proporsi 20. Lakukan hal yang kita senangi, tidak berprofit, dan tidak mengganggu keuangan kita, beri proporsi 10. Percayalah itu kunci keseimbangan, tanpa perlu memberi label uang sebagai "segalanya". Bukan uang menentukan kegiatan kita, tapi kegiatan kita yang menentukan uang. Waktu yang kita punya harus tetap menjadikan sumber hidup. Seandainya beras kini adalah alat tukar yang sah, ya tinggal ganti "uang" dengan "beras". Jika kita tidak bergantung pada uang, harusnya kita bisa membayangkannya dengan mudah.
Saya punya pemahaman lain mengenai uang. Berbagai penelitian mengenai kebahagiaan selalu mengatakan kebahagiaan adalah sesuatu yang subjektif. Bisa melalui hal-hal yang dapat dibeli dengan uang, bisa juga tidak. Buat orang yang hobi belanja, uang mendatangkan kebahagiaan. Buat orang yang hobi baca, buku mendatangkan kebahagiaan, dan membeli buku tidak harus dengan uang. Kita bisa ke perpustakaan dan meminjam, atau baca di internet gratis. Dalam penelitian Medium Maximization, dikatakan pula gaji sebenarnya hanya medium "semu" yang kita kejar untuk mengejar kebahagiaan yang sebenarnya (Hsee, Yu, Zhang, & Zhang, 2003). Berdasarkan pandangan hedonistik, manusia mencari kebahagiaan. Tapi, karena datangnya gaji lebih dahulu dari kebahagiaan yang bisa dibeli gaji, otak kita tertipu dan akhirnya menganalogikan gaji:bahagia. Otak kita itu OS paling pintar, karena ia mudah sekali membuat simplikasi yang bisa menghemat memori dan kerja RAM.
Saya sebenarnya nggak mengerti kenapa menulis artikel ini. Ada kegelisahan dimana barangkali kita semua sudah jadi masyarakat modern, atau saya lagi senang sekali karena saya punya rekan kerja di kantor yang sama sekali tidak menganggap uang itu jadi tujuan hidup. Orangnya sederhana, tidak pernah ambisius mengganggu, dan menyenangkan. Mungkin dia adalah tipe orang yang otaknya sudah tidak tertipu lagi dengan kebahagiaan semu dan menemukan kebahagiaan-kebahagiaan yang tidak bisa dibeli uang (...literally. Seperti, duduk menggambar di taman kota.)
Tapi saya tahu pasti, jumlah tabungannya tidak sedikit.
Dan dia masih jadi idola saya.
Referensi
Hsee, C. K., Yu, F., Zhang, J., & Zhang, Y.
(2003). Medium Maximization. Journal of Consumer Research, 30, 1-14.
Vohs, K. D., Mead, N. L., & Goode, M. R. (2006).
The psychological consequences of money. Science, 314, 1154-56.
2 comments
thanks artikelnya, semoga org2 tidak tertipu dengan kebahagiaan semu termasuk saya :)
ReplyDeleteSama-sama :-)
DeleteLet's give me a feedback!