Saya Tidak Mampu
Monday, February 16, 2015
Beberapa minggu lalu saya mendapat email bahwa saya diterima menjadi relawan pengajar Kelas Inspirasi Bandung, bagian dari Indonesia Mengajar. Senang sedikit, karena saya mengisi formnya dengan "bahasa saya" untuk mendeskripsikan job description jabatan aneh saya. Jabatan yang sudah umum ditemukan di Amerika Serikat tapi saya belum menemukannya di sini, setidaknya spesifik selain nama Digital Strategist atau Social Media Marketer. Saya boleh mengajar Big Data dan Platform Development pada anak SD? Yang benar saja.
Tapi itulah, entah bagaimana panitia seleksi mengirimkan saya email penerimaan. Saya awalnya senang, bahkan sudah meminta cuti pada bos super gaul saya -- sampai akhirnya saya ragu sendiri. Pedagogi saya selama ini adalah meminta orang yang saya ajarkan untuk membayangkan dari sudut pandangnya. Abstraksi anak SD, belum cukup untuk ini. Perkembangan kognitif yang saya butuhkan minimal setaraf SMA. Karena itulah, saya mundur. Merasa tidak mampu. Saya datang ke Bandung pada hari briefing pengajar, tapi tidak menuju lokasi briefing. Saya malah jalan-jalan tidak jelas, menepis ketidakmampuan saya.
----
Saya juga hampir menyatakan pensiun dini dari naik gunung.
Setahun ke belakang, terakhir saya naik gunung itu ke Gunung Salak, itupun tidak bisa dibilang penuh mendaki karena saya tidak memanggul logistik standar perjalanan apapun. Lalu Madakaripura. Bukan pula naik gunung. Kemudian saya habiskan dengan eksplorasi tempat-tempat camping untuk weekend getaway saja. Tapi di hari itu, saya membulatkan tekad untuk naik gunung lagi. Sekali lagi. Untuk merayakan pergantian umur, yang tidak suka saya rayakan bersama manusia lain. Ucapan-ucapan semu dan do'a-do'a hasil copy paste sana sini, atau mungkin sekadar pernah lihat di kartu Hallmark di Gramedia. Saya ingin merayakannya di tengah ketidakmampuan, peluh, dan kesadaran bahwa saya manusia biasa, secemerlang apapun saya telah melalui usia yang sebelumnya.
Tahun 2014, usia 21, adalah masa yang paling menyenangkan buat saya sampai saat ini. Tidak perlu saya ceritakan, intinya, yang kurang hanyalah naik gunung. Maka untuk merayakannya kembali saya ingin naik gunung pendek saja dulu. 1500-an mdpl cukup. Lalu saya diajak ke Gunung Manglayang. 1818 mdpl. Kami naik dari Batu Kuda, di mana Puncak tinggal 2-3 kilometer lagi. Bayangan saya sih, biasanya kalau saya naik gunung 3 kilometer itu satu jam. Tapi kami sudah diperingatkan jalurnya ekstrim. Jadi, rasanya saya terlalu jumawa.
Saya merasakan keletihan amat sangat setiap 15 menit berjalan. Padahal saya sudah usahakan tiap pulang kantor saya jalan kaki selama 25 menit menuju tempat saya naik bis. Latihan fisik.
Yang terlihat di bawah, jalur selanjutnya |
Tidak berguna.
Saya tetap kelelahan. Ini sungguh berbeda dengan saya yang dulu.
Partner saya kelihatannya tidak letih sama sekali.
Saya iri.
Tapi ini yang saya inginkan.
Untuk jadi manusia biasa lagi.
Tidak merasa jadi manusia super yang bisa mendapatkan segala rupa yang saya mau (walaupun kerap terjadi).
Gunung memaksa kita untuk memaklumi kondisi. Bahkan saat kabut memaksa, plus petir menyambar, plus partner sudah alergi, puncak pun harus direlakan. Kami berhenti di Puncak Bayangan dan segera mendirikan tenda. Ini yang saya cari. The art of letting go.
Saya baru berganti usia 22, dan menjadi manusia biasa lagi. Tidak punya apa-apa, tidak bisa apa-apa. Kelelahan saat mendaki. Jatuh saat mencoba mengambil foto jamur untuk teman dekat. Terduduk menyerah. Kelaparan saat malam hujan deras dan tak bisa memasak karena logistik dihemat untuk esok pagi. Ketakutan saat ingin buang air kecil karena tidak ada pendaki lain. Satu pun. Khawatir tenda kami tidak kuat menopang derasnya hujan dan lupa membuat jalur air, yang ternyata tidak terjadi. Tapi kalaupun terjadi, saya harus membiarkannya terjadi, karena ada major forces yang mengharuskan itu terjadi.
Tapi setidaknya saya tidak sendirian. Ada orang yang selalu menunggu saya saat saya berhenti dan membohongi saya setiap 10 menit sekali bahwa kita sudah dekat ke puncak. Orang yang ketakutan saya kena hipotermia lagi, yang memaklumi ketidakmampuan saya hari itu.
Seandainya saya terus dibohongi bahwa hidup ini baik-baik saja, nampaknya saya ingin percaya.
----
Sepulangnya saya dari Bandung, saya mendapat email.
Ternyata dari mantan murid saya di kantor, yang pernah saya ajarkan di kelas kecil saya mengenai hal-hal yang saya lakukan di kantor. Isi emailnya adalah ungkapan terima kasihnya, karena metode saya berbeda dengan yang ia dapat di kelas kuliah dan ia menyenanginya. Hal yang paling saya suka, ia dapat merefleksikan semua kekurangannya kemarin. Itu sebenarnya yang saya kejar. Ini yang saya senangi dari mendidik orang dewasa. Mereka bisa merefleksikan diri mereka sendiri.
Bahwa ketidakmampuan bukan hal yang harus dihukum dengan berdiri di pojok ruang kelas dan ditangisi sepulang sekolah.
Tapi untuk direfleksikan, dan berkembang lebih baik lagi.
Puncak Bayangan Manglayang,
11 Februari 2015
0 comments
Let's give me a feedback!