Lentera
Thursday, February 18, 2016
Tulisan ini saya dedikasikan untuk Bung Hatta, yang saya hormati akan pemikirannya, usahanya, Sumpah Palapanya, pidato-pidatonya, perlakuan terhadap bukunya, dan anti poligaminya. Bung, pemikiranmu masih relevan hingga saat ini tanpa kurang satu kalimat pun.
---
Candi Brahu di Situs Trowulan |
Beberapa waktu lalu saya pergi ke Trowulan, ibukota Kerajaan Majapahit di masa lampau yang merupakan satu-satunya situs perkotaan di Indonesia. Hal paling menarik dari perjalanan itu adalah pertama kalinya saya merasakan mati lampu di kereta jarak jauh setelah tahunan saya pergi dengan ular besi ini. Saat itu dini hari sekitar pukul 3 pagi, kereta baru saja akan tiba di Mojokerto. Selama ini saya selalu melihat jendela di kereta jarak jauh dan umumnya memang tak terlihat apa-apa. Tapi saat mati lampu itulah, saya bisa melihat temaram lampu rumah-rumah di samping rel kereta, sawah-sawah, dan lainnya yang belum pernah saya lihat selama lebih dari 5 tahun dari dalam kereta di malam hari.
Saya jadi teringat Ullen Sentalu, sebuah museum yang 3 kali saya sambangi dengan rupa manusia berbeda. Terdapat kata “blencong” atau lampu dalam singkatan nama Ullen Sentalu, yang bermakna doa agar museum tersebut bisa menjadi penerangan bagi manusia. Pemaknaan kata lampu tersebut terinspirasi dari lampu yang biasa digunakan dalam pertunjukan wayang kulit, jadi ada lampu yang diletakkan di balik layar putih dan penerangan lain dimatikan, agar wayang kulit dapat mencetak bayangan-bayangan dan menjalin cerita. Ingatan saya terhempas ke hal lain lagi: langit. Banyak orang bilang perkotaan kini sudah terlalu padat dan menciptakan polusi cahaya: lampu terang dari pusat perbelanjaan, pemukiman, dan gedung pencakar langit menghalau cahaya dari bulan dan bintang. Hal itu tidak terjadi saat saya pergi ke puncak gunung atau ada di balkon tempat menjemur pakaian di rumah kakek saya di kampung. Langit malam begitu cerah, bulan dan bintang ada di sana.
Hal itu merefleksikan satu hal: jika ingin melihat terangnya cahaya lain, matikan lentera kita.
Akhir-akhir ini banyak isu yang beredar di media sosial, dan saya jadi tahu sikap teman-teman saya terhadap sebuah isu spesifik. Saya jadi tahu kualitas tulisan mereka, pendapat, kadang pula cara mereka memaki. Ada untungnya sih, untuk pengamat perilaku. Namun yang saya khawatirkan adalah apa yang Bung Hatta tuang dalam pidato-pidatonya; pecah belah ala provokasi. Kita makin mudah menghakimi satu pihak salah, kita lah yang benar. Mungkin ada yang akan membuat kontra akan tulisan ini: “lah, berpendapat kan hak tiap orang? Kita harus menghargai individual differences? Ini negara demokrasi!” Nah, semoga Anda tidak bosan, saya akan banyak mengutip dari pidato-pidato Bung Hatta dalam tulisan ini. Kritik yang benar adalah kritik yang disampaikan dengan benar. Bukan semata ditujukan (sengaja, atau tidak sengaja), untuk mencemooh satu pihak meski pihak itu benar salah adanya dari bukti-bukti faktual dan saintifik. Bung Hatta bilang:
“Hanya orang yang tidak bekerja yang tidak pernah salah. Hanya orang tidur yang tidak pernah berbuat kesalahan. Orang yang bekerja senantiasa ada kesalahan, tetapi senantiasa ada keinginan untuk memperbaiki kesalahan itu. Itulah gunanya kritik rakyat. Tetapi janganlah mengadakan kritik yang ditujukan untuk mencela saja, yang semata-mata ingin merobohkan dengan tidak menunjukkan apa yang lebih baik. Saban orang bisa mencela, karena mencela adalah pekerjaan yang mudah.”
Saya jadi menganggap teman-teman di media sosial yang saban hari pekerjaannya adalah mencela sebenarnya adalah pemalas. Iya, karena mencela adalah pekerjaan yang mudah. Saya ingat betul apa kata dosen pembimbing saya saat selesai sidang: “jika penguji bilang kamu salah, jangan langsung terima. Tanya balik: bagaimana menurut Anda yang benar?” Dan sekata dengan perbuatan, dosen favorit saya yang satu ini selalu bertanya kembali jika seseorang mengajukan sanggahan, apa yang benar menurut penyanggah tersebut. Bung Hatta memberi ide bahwa menunjukkan apa yang benar-benar salah adalah benar namun harus disertai dengan apa yang kemudian harus dilakukan agar bisa diuji kebenaran pendapat dari yang mengkritik kondisi itu.
Jika saya berkeliling di Trowulan, saya merefleksikan itu pada diri saya kembali. Saya ini terkenal suka mengkritik, sejak dahulu kala sepertinya. Partner saya bilang saya lucu karena saat saya ke Museum Gajah kerjaan saya hanya mengkritik dari awal masuk hingga keluar. Saya mengeluhkan tidak lengkapnya informasi sehingga satu benda sejarah saja bisa dimultitafsirkan atau salah diinterpretasikan karena peletakkan yang salah. Saat saya ke Candi Plaosan, saya mengkritik kenapa banyak reruntuhan candi dibiarkan saja tanpa dipugar. Saya mengomel, juga mengutuki diri saya sendiri bahwa saya baru tahu Plaosan setelah sekian lama mengenal Prambanan. Tapi kemudian saya pulang, mencari tahu apa yang terjadi dengan Plaosan. Di kompleks Candi Plaosan, terdapat kurang lebih 300 candi yang siap dipugar. Namun, anggaran negara untuk Plaosan hanya cukup untuk memugar satu candi setiap tahunnya. Artinya, saya harus menunggu 3 abad untuk melihat kompleks Candi Plaosan utuh sediakala.
Di Trowulan, saya mengeluhkan jauhnya jarak antar candi (tentu saja, ini kan situs perkotaan) dan tidak rapihnya penataan di museumnya. Tapi kemudian saya secara random bertemu Direktur Eksekutif Indonesian Heritage Trust, dan baru saja mengetahui bahwa bisa saja setiap harinya warga menemukan peninggalan Majapahit di pekarangan rumah (yang astaga, saya harap juga saya bisa menemukan kendi Majapahit di halaman rumah saya), sehingga museum itu sebenarnya lebih berfungsi sebagai gudang dari Balai Pelestarian di Trowulan. Penelitian satu benda pustaka bisa memakan waktu cukup lama dan tidak semua Arkeolog adalah Copywriter.
Saya bersyukur bahwasanya kritik yang berputar di kepala saya bisa terjawab tanpa menunggu waktu lama, tapi jujur, saya juga pernah kok jadi bigot di media sosial kala saya sangat aktif menjadi aktivis lingkungan di bangku kuliah. Rasanya menyenangkan memang, berpendapat menghakimi pemerintah dan berkata-kata kasar, tapi belakangan saya sadar dan menemukan bahwa pena adalah senjata. Bisa benar, bisa salah. Karena penanya, Gie, Wiji Thukul, Munir, dan Hatta diasingkan. Tapi zaman sekarang, karena pena pula kita bisa dipenjarakan hanya perkara sepele berulang: “pencemaran nama baik.” Apa bedanya? Gie, Wiji Thukul, Munir dan Hatta, menulis ide mereka dalam tulisan panjang atau sastra sebagai kritik atas pemerintahan yang berkuasa saat itu. Mereka memaparkan apa kesalahan-kesalahan pemerintah dan apa harusnya tindak lanjut yang benar. Mereka tidak menulis dalam status 140 karakter atau screenshot dari Path, atau link-link yang dipertanyakan kebenarannya di Facebook. Bahwa tidak ada media sosial di zaman mereka? Benar adanya. Tapi bukankah kita juga bisa seperti mereka: kritik cerdas yang dipaparkan secara komprehensif dengan solusi futuristik?
Tapi kembali ke awal, untuk bisa begitu saya pikir kita harus mematikan lentera diri kita sendiri. Tidak peduli seberapa tinggi pendidikan yang kita tempuh, tidak ada satu parameterpun yang bisa menyatakan kita adalah paling benar dalam semua hal. Terlebih saya kurang suka mendengar pendapat dari “pengamat”. Semua profesi bergelar “pengamat” di depannya tanpa pernah berinteraksi langsung dengan masalah yang ia kritisi bahwasanya adalah roti tanpa isi. Kita pikir lentera kita adalah paling terang dan paling benar, padahal itu hanya karena kita besarkan lentera kita sehingga lentera di luar tidak tampak adanya. Bukan sesuatu yang sulit apabila kita padamkan lentera kita sebentar, kemudian kita lihat keluar, dan barangkali ada lentera yang temaram, tapi mampu menjawab keraguan kita. Bahwasanya hak untuk mengkritik adalah sama dengan hak untuk hidup: kita berhak untuk hidup, tapi tidak berhak untuk merenggut nyawa orang lain. Dan jika boleh sekali saja saya menulis dalam blog saya untuk menitip pesan bagi rekan sesama keyakinan saya, Islam: seperti Bung Hatta selalu ingatkan dalam pidatonya, jangan buat perpecahan, menghakimi, dan menyakiti – Islam itu artinya damai, dan jika kita meresahkan banyak pihak dan tidak berdamai dengan mereka, apakah kita sudah yakin bahwa Islam itu yang kita yakini?
Saya berharap pancingan media tidak berhasil membuat Anda untuk tiba-tiba menjadi Ahli Ilmu Politik, Psikolog, Budayawan, dan Ahli-ahli lain dalam waktu beberapa jam membaca-baca link di internet.
Semoga Anda berkenan untuk mematikan lentera Anda, meski sebentar.
3 comments
Kangen!
ReplyDeleteHi, siapa ini?
DeleteKeep up the great work ... Congrats!!!
ReplyDeleteLet's give me a feedback!