Nomad
Wednesday, February 15, 2017
Akhirnya setelah kepulangan saya tanggal 31 Januari lalu, sejak pergi dari ibukota tanggal 16 Desember 2016, saya punya waktu sejenak untuk duduk dan menulis. Tulisan ini akan ringan saja, mengenai bagaimana saya hidup sebentar di Denpasar. Saya menghabiskan waktu selama di sana di kantor Komodo Survival Program, kantor baru saya sejak Januari 2017 ini. Saya harus bersepeda 19 km setiap hari (round trip) dari tempat saya tinggal ke kantor, dan sebaliknya. Pekerjaan saya sangat menyenangkan, ditambah jalan yang harus saya lalui setiap harinya. Selama dua minggu sampai tim saya harus berangkat ke lapangan, saya merancang dan mengerjakan beberapa hal yang syukurnya selesai tepat waktu.
Saya tinggal di rumah kakak pelatih tari Bali saya dari Sanggar Bulungan, tepatnya di Jalan Turi Denpasar. Neighborhood-nya tepat seperti yang saya idamkan untuk tinggal selama di Bali. Di rumah, saya ditemani dua anjing Kintamani lincah bernama Momo dan Mimi. Momo dan Mimi ini sering sekali menemani saya jika keluar sampai ke ujung gang, lalu kembali lagi. Tapi pernah sekali waktu ketika saya sedang merasa tidak secure, mereka menemani saya sampai ke tempat makan siang langganan saya.
Saya menempati kamar yang cukup luas, dan menjadi ruang gerak saya melakukan banyak hal. Saya suka sekali kamarnya. Bersih, pencahayaan cukup, jendela besar. Maka nikmat Tuhan manalagi yang kau dustakan. Di seberang kamar terlihat anjing betina penjaga bernama Popo. Popo ini awalnya kerap menggonggong ketika saya baru pulang, jadi host family saya tahu kalau saya pulang. Mulai beberapa hari kemudian, ia sudah mengenal saya dan berhenti menyalak ketika saya datang. Jadi lah saya tidak tahu harus berbuat apa. Belakangan, putri host saya mengajarkan cara membuka pagar rumah yang besar itu jadi secara mandiri saya bisa leluasa bepergian. Saya menghabiskan banyak waktu di kamar selama seminggu saya terakhir di Bali, mengerjakan tesis dan juga bermain ukulele. Sekali waktu teman baik saya datang karena kami berencana menonton film Istirahatlah Kata-Kata, dan ia mengubah tuning ukulelenya namun tidak selesai. Saya agak buta alat musik, jadi saya kirimkan saja ke partner saya di Bogor untuk di-tuning, meski sepertinya belum sempat dimainkan lagi sampai saat ini.
Terkadang, saya begitu suntuknya di kamar, meski senang menonton hujan dari jendela kamar saya yang besar itu. Saya kemudian mengambil sepeda - sepeda ini milik kantor saya yang dipinjamkan selama saya di sana, kemudian saya pergi mengarah ke Art Center. Mencari sate lilit, atau sekedar bersepeda saja. Saya senang sekali bersepeda di area ini. Berbeda dengan Kuta dan Sanur yang metropolitan, area ini sangat berseni dan "lokal". Orang lalu lalang membawa nampan berisi sesaji untuk beribadah, berjalan kaki. Ada dua perayaan selama saya di sana, salah satunya adalah hari Saraswati. Pura-Pura ramai, gadis-gadis berkebaya dan ikat di pinggang berlalu melenggang. Ada beberapa toko alat tari yang menandakan area ini ramai penggiat seni. Dan saya pulang dengan hati senang, menuju Jalan Turi yang di Utara-nya terlihat punggungan gunung, yang sampai sekarang saya masih sangsi gunung apakah itu.
Hal lain yang menyenangkan dari bersepeda adalah kita dapat lamat-lamat mengamati kota. Rumah tempat saya tinggal berada dekat sebuah Pura, bersepeda ke arah Selatan, sudah dekat dengan Art Center, ISI Denpasar, menuju Lapangan Puputan Badung kemudian Museum Bali, dan Monumen Bajra Sandhi. Selain ke tempat-tempat tersebut, sekali waktu saya main ke Taman Baca Kesiman, bertemu kawan lama. Berbincang soal isu sosial baik di Bali atau di pulau Jawa. Saya menemukan CD menarik bertajuk "Dialita", kumpulan lagu paduan suara eks-tapol 1965. Kami juga berbincang sebentar soal Baluran dan Wiji Thukul, juga buku-buku yang akan dirilis di Taman Baca Kesiman di waktu mendatang.
Bicara soal museum, saya rasa Museum Bali patut dikunjungi bagi orang yang senang sepi seperti saya. Meski sebagian besar pengunjung waktu itu adalah pasangan-pasangan yang akan melakukan pre-wedding, Museum Bali terdiri dari paviliun-paviliun dengan koleksi menarik. Ada patung-patung besar yang jadi favorit saya, tapi fotonya lebih baik tidak saya tampilkan biar penasaran dan mengunjungi sendiri. Sementara di Monumen Bajra Sandhi, saya sangat suka landscape scenery yang ditampilkan. Mengingatkan saya pada National Mall di Washington DC. Mall tersebut diartikan sebagai tempat luas dimana masyarakat bisa datang dan berkumpul (dan seluruh museum Smithsonian di sana gratis), singkatnya seperti ruang terbuka, dengan bangunan-bangunan historis dan langit luas. Senang sekali berada di Bajra Sandhi (fotonya adalah foto paling atas di tulisan ini). Sempat bingung, saya akhirnya bisa menemukan pintu masuk museum dan melihat banyak sekali diorama yang terawat baik, disusun berdasarkan era historis perjalanan pulau Bali baik secara lingkungan, dan sosial masyarakat.
Saya juga senang sekali bersepeda ke arah Jalan Kecubung, tempat Sanggar Warini berada. Salah satu misi hidup saya adalah belajar tari langsung pada seorang Maestro, dan entah bagaimana, pelatih saya mengatur agar saya bisa hidup di Denpasar, dekat denggar sanggar dari Maestro Ni Ketut Arini, maestro tari-tari klasik yang telah merevitalisasi tari-tari Bali yang mungkin hampir punah. Salah satunya dulu adalah Tari Condong, yang sedang saya tekuni saat ini. Tari Condong menggambarkan pelayan (versi lain adalah prajurit) dari sepasang Raja dan Ratu, yang merupakan bagian dari Tari Legong Kraton. Tari ini merupakan salah satu dari 9 tarian Bali yang diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia, sehingga saya senang sekali bisa belajar langsung pada Ibu Arini. Beliau galak sekali, tapi juga mengajarkan saya beberapa prinsip fundamental mengenai menari Bali. Beruntung saya sempat memiliki sesi berdua saja dengan beliau.
Selepas dari sesi dengan Ibu Arini, saya mengikuti enam kali latihan bersama anggota sanggar yang lain. Kebanyakan adalah anak-anak, dan berbeda dengan cara saya belajar di Jakarta yang tiap orang fokus untuk satu semester belajar satu tarian, di sini semua anak wajib menarikan semua yang diajarkan kecuali tari dengan limitasi usia khusus (misal tari untuk dewasa untuk anak besar saja). Jadilah, saya ikut latihan Tari Panyembrama, Pendet, Panji, Puspanjali, dan sekali waktu juga Legong Kraton, bukan hanya latihan Tari Condong. Ada sensasi menyenangkan setiap kali selesai menarikan satu tarian, atau bahkan tarian pemanasan yang terdiri dari gerak-gerak dasar tari Bali saja.
Sesekali saya bersepeda untuk mengurus beberapa hal seperti mengirim kartu pos, atau paket ke pulau Jawa. Atau juga membeli hal-hal yang hanya saya bisa beli di Bali. Saya kerap berhenti di sebuah kedai dekat Katedral Denpasar, yang kebetulan terletak berdekatan dengan Kantor Pos besar di Denpasar. Ada mie ayam jamur di sana yang enak sekali, dan saya bisa melihat katedral dari tempat saya makan. Saya rasa adalah menarik bahwa semua bentuk bangunan agama di daerah saya tinggal menyerap gaya arsitektur khas Bali: batu bata, berukir, beratap meru. Wanita-wanita berjilbab beraktivitas seperti biasa dan kedai babi tetap sentosa. Orang Banyuwangi berjualan nasi dan lauk pauk, ada pula kedai milik orang Bali yang biasa saya sambangi, yang hanya memasak ayam. Host family saya beribadah pagi, siang dan petang dengan rutin, dan sekali waktu saya berpapasan dengan ibu host saya, ia membawa nampan berisi sesaji dan mengatakan "ingin beribadah dulu, ya..." sambil tersenyum pada saya. Kadang saya juga tahu ketika saya beribadah, terlihat dari luar jendela kamar saya. Tapi sepertinya di sini keyakinan, yang menurut KBBI:
keyakinan/ke·ya·kin·an/ n 1 kepercayaan dan sebagainya yang sungguh-sungguh; kepastian; ketentuan; 2 bagian agama atau religi yang berwujud konsep yang menjadi keyakinan (kepercayaan) para penganutnya;
...memiliki definisi yang sebenar-benarnya. Kepercayaan yang sungguh-sungguh, bukan untuk mengganggu kepercayaan orang lain atau berkata kasar soal pilihan orang lain. Untuk itu saya merasa damai sekali. Baru-baru ini saya membaca kalimat menarik dari senior saya di teater dulu: "Jangan kesetanan saat membahas ketuhanan". Ya, mungkin jadi bahan renungan saya juga.
Akhirnya pun tiba hari Senin itu, 30 Januari 2017. Saya mengemas barang-barang saya dan bersiap pulang. Ada satu buah tas punggung, tenda, tas kamera, dan goodie bag untuk nanti memuat laptop saya saat barang saya sudah masuk bagasi. Beberapa barang saya tinggal di kantor untuk nanti jika saya mesti hidup di kantor lagi, perkiraan tengah tahun sebelum berangkat lagi ke lapangan site penelitian kami. Menariknya, beberapa hari sebelum saya pulang saya dihubungi dosen pembimbing saya selama di Amerika dulu (yang juga idola saya karena tergabung di Sierra Club cukup lama, bahkan hingga saat ini), bahwa putri dan temannya akan berkunjung ke Bali. Beruntung, jadwal kedatangannya tepat sebelum keberangkatan saya ke Jakarta sehingga kami dapat bertemu di bandara.
Saya selalu senang untuk bisa berdiskusi dengan orang-orang yang mau berbincang selain membicarakan keburukan orang lain secara personal atau bergosip, dan untungnya, Semesta, menyediakan dua orang terakhir dari Amerika untuk berbincang dengan saya di Bali mengenai konservasi hewan liar, traveling, ekologi, dan komunikasi konservasi. Dua orang yang ingin sekali bertemu saya karena mendengar hal-hal tentang saya dari dosen pembimbing saya, dan mendengarkan saya sepenuh hati tanpa sedikitpun peduli dengan layar kaca. Mereka bahkan tidak peduli jika penjemput mereka dari Kuta sudah pergi karena kami berbincang terlalu lama, dan mereka akan menemukan cara menuju hotel mereka. Tak lama setelah saya pulang, saya merekomendasikan mereka untuk menonton Upacara Rejang di Tenganan, yang sudah saya idam-idamkan untuk tonton dari tahun lalu, tapi saya belum dapat kesempatannya. Kate, anak dosen saya, mengirimkan foto-foto cantik dari upacara tersebut dan berterima kasih untuk rekomendasi saya. Saya bahagia sekali jika ada orang yang sangat berterima kasih untuk pengalaman, bukan hal-hal materialistik.
Meski perjalanan nomad saya sudah usai, saya ingat saya banyak ber-humming selama bersepeda. Hal ini membantu saya mengusir kesepian saya hidup sendiri di sana. Paling berkesan mungkin saat saya sedang bersepeda setelah hujan menuju kantor, dan menyenandungkan lagu Moonriver, hingga pada bait:
"...we're after the same rainbow's end..."
tiba-tiba muncul seberkas pelangi di langit pagi itu.
Saya bahagia sekali.
Saya merasa Semesta tersenyum pada saya selama di sana, dan menunjukkan kasihnya yang Maha Besar. Saya tahu dalam jangka waktu seminggu saya harus kembali ke Uluwatu untuk rapat dengan tim saya, tapi Denpasar telah menjadi secuil Bali yang sangat berarti buat saya. Beberapa waktu lalu partner saya memberikan hadiah buku untuk ulangtahun saya, dan dalam buku tersebut, sang penulis menjelaskan pemaknaan suku Native American akan alam, yang persis sekali dengan penggambaran Dee dalam rangkaian karyanya: kita lupa bahwa kita pernah dapat berkomunikasi dengan alam sebegitu dekatnya, dan memahami satu sama lain.
Dan saya teringat suatu malam, saya pernah begitu kesepian karena seluruh host family saya pergi untuk acara Banjar, dan saya sendirian hingga agak larut malam, hujan. Namun ketika saya membuka pintu, Momo dan Mimi tidur berjaga di depan kamar saya, yang letaknya jauh dari tempat mereka biasa tertidur.
Saya memperhatikan mereka sejenak malam itu.
Ketika ada suara, mereka terbangun, menengok ke saya, dan tidak seperti biasanya yang mereka senang sekali mengajak saya bermain, mereka akan kembali ke posisi semula.
Malam itu, saya yakin sepenuhnya bahwa Semesta sayang sekali sama saya, dan juga bagaimana Ia mengirimkan satu orang yang berjaga di bandara dengan sikap berjaga yang sama seperti Momo dan Mimi, ketika saya keluar dari Pintu Kedatangan.
0 comments
Let's give me a feedback!